Bandara Sultan Hasanuddin dari dulu sudah merupakan bandara besar. Ketika pertama dibangun pemerintah Hindia-Belanda pada 1935, dengan nama Lapangan Terbang Kadieng, panjang landasannya saja sudah 1.600 meter. Jauh lebih panjang dari bandara perintis sekarang yang rata-rata panjangnya dibawah 1.000 meter. Meski begitu, landasannya masih tanah rumput. Baru ketika Jepang berkuasa pada 1942 landasan itu dibeton dan namanya diganti jadi Lapangan Terbang Mandai.
Ketika sekutu dan Belanda masuk lagi pada 1945, mereka membuat satu landasan pacu lagi. Panjangnya 1.745 meter dan dikerjakan oleh 4.000 orang mantan prajurit Romusha. Di masa Indonesia merdeka, pada 1955, landasan diperpanjang lagi menjadi 2.345 meter, dan nama Lapangan Terbang Mandai diganti jadi Pelabuhan Udara Mandai. Pada 1980 diperpanjang lagi menjadi 2.500 meter dan nama Pelabuhan Udara Sultan Hasanuddin mulai dipakai.
Pada 1985, nama Pelabuhan Udara Hasanuddin diganti menjadi Bandar Udara Sultan Hasanuddin. Dan akhirnya pada 1995 ditetapkan sebagai bandara internasional. Dua penerbangan internasional perdananya adalah dari Malaysia dan Singapura. Tapi sebenarnya, sebelum berstatus internasional pun, karena sudah ditetapkan sebagai pelabuhan embarkasi haji pada 1990, Bandara ini sudah melayani penerbangan jamaah haji ke Jeddah.
Sekarang Bandara Sultan Hasanuddin dikelola oleh dan jadi sumber profit PT Angkasa Pura I. Pada Februari lalu, Dirut PT Angkasa Pura I Tommy Soetomo melaporkan, Bandara Sultan Hasanuddin memang pernah mengalmai kerugian pada 2009 sebesar Rp 19,766 miliar. Namun hal itu terjadi karena sedang ada pembangunan bandara baru. Tahun 2010, Bandara Hasanuddin kembali laba Rp 3,296 miliar. ''Ini adalah keuntungan terkecil sejak 2006,'' kata Tommy, dalam rapat dengar pendapatdengan Komisi V DPR RI di Gedung DPR RI.
Pada 2006, papar Tommy, Bandara Hasanuddin meraih untung Rp 86,123 miliar. Tahun 2007 laba Rp 85,768 miliar, dan tahun 2008 keuntungannya Rp 31,664 miliar.