Minggu, 30 September 2012

Semua ada di bumi Enrekang

Gunung Nona
INGIN melihat dan merasakan panorama goa, gunung, sungai, dan air terjun? Semua ada di bumi Enrekang. 

Kabupaten yang terletak antara kilometer 196 dan kilometer 281 di utara kota Makassar ini, menjadi salah satu alternatif daerah yang harus dikunjungi jika ke Sulawesi Selatan. 

Salah satu gunung yang terkenal di daerah ini adalah Gunung Buttu Kabobong. Gunung ini terkenal karena bentuknya yang unik, menyerupai kelamin manusia. Gunung yang kerap pula disebut Gunung Nona ini bisa disaksikan dari pinggir jalan raya, saat menuju kota Enrekang.



Gunung Bambapuang
Sungai Saddang
Gunung Latimojong

Di daerah ini juga terdapat Gunung Bambapuang yang memiliki ketinggian 1.157 meter di atas permukaan laut. Jika beruntung, anda bisa menyaksikan panorama sunrise dan sunset yang memukau dari lereng gunung ini. Saat itu, bola matahari yang berwarna kemerahan tampak begitu jelas. Di lereng gunung ini pula, terdapat sejumlah bunker milik tentara Jepang.

Menurut mitos dan legenda yang diyakini masyarakat setempat, Gunung Bambapuang adalah tempat dimana pemerintahan dan peradaban manusia di Sulawesi Selatan, bermula. Tempat itu persisnya berada di Lura Bambapuang, salah satu kawasan yang dialiri Sungai Saddang -- sungai terpanjang di Pulau Sulawesi.

Orang-orang Bugis menghormati tempat tersebut dan menyebutnya tana rigalla tana riabbusungi (negeri suci yang dihormati). Bahkan hingga kini, masyarakat Toraja yang merupakan tetangga dari daerah ini, selalu menyerahkan sekerat daging bagi leluhurnya di Bambapuang setiap kali mereka menggelar pesta.

Daerah ini berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja di sebelah utara, Kabupaten Luwu di bagian timur, Kabupaten Sidrap di sebelah selatan, dan Kabupaten Pinrang di sebelah barat. Enrekang memiliki wilayah perbukitan dan pegunungan dengan ketinggian antara 70 sampai 3.000 meter di atas permukaan laut. Salah satu gunung yang terkenal adalah Gunung Latimojong yang memiliki ketinggian 3.239 meter di atas permukaan laut, dan merupakan gunung tertinggi di Sulawesi Selatan.

Dangke... keju buatan asli Enrekang


Memperkenalkan kepada anda makanan khas kabupaten Enrekang di provinsi Sulawesi Selatan yakni Dangke. Untuk mengetahui lebih dekat bagaimana cita rasa Dangke ini, kami ajak anda menuju kabupaten Enrekang di provinsi Sulawesi Selatan.  Enrekang merupakan nama salah satu kabupaten yang ada di provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini terletak antara 196 dan 281 kilometer di sebelah utara kota Makassar. Dari Makassar menuju kabupaten Enrekang membutuhkan waktu lebih kurang 6 jam perjalanan. Untuk menuju kabupaten Enrekang ini, anda dapat menggunakan bus umum, mobil daerah ataupun kendaraan pribadi.
Ketika berkunjung ke Enrekang, makanan khas yang patut anda coba yakni Dangke. Konon, Dangke merupakan makanan khas di kabupaten Enrekang yang hanya dapat dijumpai di tempat makanan itu dibuat, meskipun nama makanan ini telah dikenal hingga ke Makassar. dangke merupakan bahasa belanda yang artrinya terima kasih. danke juga biasa disebut sebagai kejunya orang enrekang

Makanan yang berwarna putih seperti tahu dan terasa lembut ketika anda mengkonsumsinya menjadi ciri khas tersendiri dari Dangke. Bagi pecintanya, rasa Dangke dinilai gurih seperti keju dan kenyal seperti tahu. Bedanya, jika tahu dibuat dari fermentasi kacang kedelai. Sementara Dangke dibuat dari susu kerbau yang telah difermentasikan.  Dalam pembuatan dangke biasanya getah yang digunakan adalah daun pepeya dan buah nanas. Jika rasanya agak pahit berarti dangke dicampurkan dengan sari daun pepeya, dan jika rasanya agak kecut dan berwarna kekuningan berarti bahan campurannya dari buah nanas.
Masyarakat Enrekang biasanya membuat Dangke untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual kembali kepada para pemesannya. Untuk membuat Dangke tidaklah mudah. Dalam proses pembuatan makanan ini, mereka harus menyiapkan susu kerbau yang dinilai berkualitas bagus terlebih dahulu. Kualitas susu kerbau itu diyakini dapat mempengaruhi kualitas rasa dari Dangke. Setelah itu, barulah susu kerbau dimasak bersama dengan garam hingga mendidih. Untuk memadatkan rebusan susu kerbau itu, mereka menambahkan sedikit getah dari buah pepaya. Getah dari buah papaya mengandung enzim papain. Enzim papain itulah yang dapat memisahkan air dan protein dalam susu kerbau. Setelah susu kerbau itu terlihat menggumpal, pemberian enzim papain dihentikan. Jika terlalu banyak campuran enzim papain dalam rebusan susu, rasa Dangke menjadi pahit. Setelah campuran susu matang dan terlihat padat, barulah rebusan itu disaring. Untuk membuat Dangke, hanya dibutuhkan kandungan protein yang dalam susu. Sementara kandungan airnya dibuang. Setelah disaring, barulah campuran susu kerbau itu dimasukkan ke dalam cetakan khusus kemudian didinginkan.
Di Enrekang, terdapat beragam bentuk dan ukuran Dangke sesuai selera dari pembuat Dangke itu sendiri. Umumnya, cetakan Dangke terbuat dari tempurung kelapa yang telah dibersihkan dan dibelah hingga berbentuk setengah lingkaran. Sementara untuk penyajiannya, Dangke dapat langsung dikonsumsi setelah matang atau diolah terlebih dahulu menjadi Dangke Goreng serta Dangke Panggang. Lain halnya dengan kebiasaan masyarakat di Enrekang. Mereka biasanya mengkonsumsi Dangke berwarna putih seperti tahu itu bersama dengan Pulu Mandoti, beras ketan yang telah dimasak seperti nasi putih.
tertarik untuk mencoba cita rasa Dangke? anda dapat memperolehnya di beberapa kedai makanan di kabupaten Enrekang. Karena citarasa Dangke lambat laun peminatnya semakin bertambah, kini makanan khas Enrekang ini mulai dijual di beberapa kedai makanan di daerah Rappang, sekitar 200 meter dari kota Makassar

Wilayah bebas rokok pertama mulai dari desa ini. WOWWWW...!!!


Bayangkan Anda berada dalam suatu pedesaan yang bersih, berudara segar dan bebas asap rokok. Ini bukan khayalan. Anda bisa langsung berkunjung ke Desa Bone-bone di Enrengkang, Sulawesi Selatan.
Tanggal 31 Mei bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Saat ini, mungkin sulit untuk menemukan tempat yang bebas asap rokok. Bahkan, tempat wisata pun hampir semuanya dikunjungi dan memperbolehkan wisatawannya untuk merokok. Tetapi tidak dengan Desa Bone-bone di Enrekang, Sulawesi Selatan.
Desa Bone-Bone terletak di lereng Pegunungan Latimojong dan berada pada ketinggian + 1.500 mdpl  dan memiliki jumlah penduduk sekitar 801 jiwa serta memiliki luas wilayah kurang lebih 800 hektar. Desa Bone-bone berjarak sekitar 15 km dari Ibukota kecamatan Baraka dan 50 Km dari Ibu kota Kabupaten serta sekitar 300 Km dari Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.


Diintip dari situs resmi Dinas Kesehatan Pemprov Sulawesi Selatan, Kamis (31/5/2012), Desa Bone-bone yang terletak di lereng Gunung Latimojong, Kabupatena Enrekang, Sulawesi Selatan merupakan desa bersih. Mengapa bersih? Desa ini melarang warga dan siapa saja yang datang untuk merokok, turis sekalipun.
Desa Bone-bone memang telah lama menerapkan larangan merokok untuk warganya. Tidak hanya warga, tetapi siapa saja yang datang dilarang untuk merokok di desa ini. Memang pada awalnya, larangan ini hanyalah norma yang tidak memiliki aturan tertulis, tetapi kemudian pada tahun 2003, dibuat peraturan resmi larangan merokok.
Desa ini memang dinilai unik karena menerapkan aturan yang tidak biasa, melarang warganya merokok. Tapi hasilnya menakjubkan, tidak ada penderita batuk berdahak di desa ini. Kalau tidak percaya, langsung saja datang ke desa berudara dingin ini.
Desa Bone-bone memang masih asri dan hijau dengan pepohonan hijau yang mengitarinya. Begitu pertama kali menginjakkan kaki di desa ini, palancong langsung dihadapkan dengan banyak papan bertuliskan "Jagalah Jantung Anda Agar Tetap Sehat", atau "Nikmati Indahnya Pemandangan dan Segarnya Udara Dusun Kami".
Memang benar, Desa Bone-bone memiliki alam yang begitu indah karena berada di lereng gunung dengan pepohonan hijau. Rumput hijau yang tumbuh di tanah Bone-bone akan menemani setiap langkah kaki Anda sebagai karpet alam.
Di pagi hari, cobalah untuk ikut warga untuk bersawah atau kebun. Nikmati pemandangan yang tidak mungkin Anda temukan di ibukota. Melihat para petani sibuk mencangkul dan beternak sapi, tentu tanpa asap rokok. Tak heran jika Bone-bone dijuluki sebagai 'Dusun Sehat'.

Kamis, 24 November 2011

Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar, Arsitektur Megah di setiap Sudutnya


Bandara Sultan Hasanuddin dari dulu sudah merupakan bandara besar. Ketika pertama dibangun pemerintah Hindia-Belanda pada 1935, dengan nama Lapangan Terbang Kadieng, panjang landasannya saja sudah 1.600 meter. Jauh lebih panjang dari bandara perintis sekarang yang rata-rata panjangnya dibawah 1.000 meter. Meski begitu, landasannya masih tanah rumput. Baru ketika Jepang berkuasa pada 1942 landasan itu dibeton dan namanya diganti jadi Lapangan Terbang Mandai.

Ketika sekutu dan Belanda masuk lagi pada 1945, mereka membuat satu landasan pacu lagi. Panjangnya 1.745 meter dan dikerjakan oleh 4.000 orang mantan prajurit Romusha. Di masa Indonesia merdeka, pada 1955, landasan diperpanjang lagi menjadi 2.345 meter, dan nama Lapangan Terbang Mandai diganti jadi Pelabuhan Udara Mandai. Pada 1980 diperpanjang lagi menjadi 2.500 meter dan nama Pelabuhan Udara Sultan Hasanuddin mulai dipakai.

Pada 1985, nama Pelabuhan Udara Hasanuddin diganti menjadi Bandar Udara Sultan Hasanuddin. Dan akhirnya pada 1995 ditetapkan sebagai bandara internasional. Dua penerbangan internasional perdananya adalah dari Malaysia dan Singapura. Tapi sebenarnya, sebelum berstatus internasional pun, karena sudah ditetapkan sebagai pelabuhan embarkasi haji pada 1990, Bandara ini sudah melayani penerbangan jamaah haji ke Jeddah.

Sekarang Bandara Sultan Hasanuddin dikelola oleh dan jadi sumber profit PT Angkasa Pura I. Pada Februari lalu, Dirut PT Angkasa Pura I Tommy Soetomo melaporkan, Bandara Sultan Hasanuddin memang pernah mengalmai kerugian pada 2009 sebesar Rp 19,766 miliar. Namun hal itu terjadi karena sedang ada pembangunan bandara baru. Tahun 2010, Bandara Hasanuddin kembali laba Rp 3,296 miliar. ''Ini adalah keuntungan terkecil sejak 2006,'' kata Tommy, dalam rapat dengar pendapatdengan Komisi V DPR RI di Gedung DPR RI.

Pada 2006, papar Tommy, Bandara Hasanuddin meraih untung Rp 86,123 miliar. Tahun 2007 laba Rp 85,768 miliar, dan tahun 2008 keuntungannya Rp 31,664 miliar.

Pelabuhan Paotere Makassar, Gambaran Jiwa Pelaut Makassar


Pelabuhan Paotere terletak di sebelah utara kota Makassar. Jaraknya kira-kira tiga kilometer jika Anda dari Pantai Losari. Pelabuhan Paotere merupakan salah satu aset yang penting dari Kerajaan Gowa Tallo saat abad ke 14. Pelabuhan Paotere berperan penting saat Raja Gowa Tallo mengirimkan 200 kapal phinisi untuk berperang melawan penjajah Belanda. Warisan yang sangat berharga untuk dilupakan.
Kini, Pelabuhan Paotere masih memiliki banyak phinisi yang berlabuh di pantainya. Sisa-sisa kejayaan Raja Gowa Tallo dengan phinisinya yang terkenal, tidak mudah dihapuskan dari Pelabuhan Paotere.
Meski fungsi utamanya sudah tidak lagi sebagai pelabuhan rakyat, dan lebih kepada pelabuhan perdagangan dan transportasi antar pulau, tapi tetap saja ramai dengan kapal-kapal yang bersandar dan hilir mudik setiap harinya. Selain sebagai lalu lintas perdagangan, Pelabuhan Paotere juga memiliki Tempat Pelelangan Ikan dan menjadi pusat niaga nelayan Makassar. Ingin berbelanja ikan murah? Datanglah ke Pelabuhan Paotere pada hari-hari tertentu, para nelayan akan merapat ke pelabuhan dan menjual ikan hasil tangkapannya.
Bongkar muat barang di Pelabuhan Paotere menjadi pemndangan khas dan unik tersendiri di Pelabuhan Paotere. Aneka macam barang, dibongkar dan dimasukkan ke dalam truk-truk yang selanjutnya akan mengantarkannya ke Kota Makassar dan sekitarnya. Hari itu saya melihat bawang merah dan tepung terigu dibongkar. Entah dari mana asalnya. Puluhan lelaki hilir mudik mengangkut berton-ton tepung terigu dan karung-karung berisi bawang merah menuju truk yang sudah bersiap di bibir pelabuhan. Keringat dan sinar matahari menjadikannya kulit mereka yang kehitaman bersinar.

Jika ingin melihat aktivitas nelayan yang membongkar muat ikan hasil tangkapannya, tentu saja Anda harus ke Pelabuhan Paotere pada saat dini hari. Di siang hari, beberapa pedagang di pasar dan sepanjang jalan menuju pelabuhan, dapat terlihat juga ikan-ikan segar yang mereka dagangkan. Tidak sepanjang hari pelabuhan ini ramai. Hanya di pagi hari dan sore harilah, aktivitas benar-benar mencapai puncaknya.
Yang tidak boleh tertinggal saat mengunjungi Pelabuhan Paotere adalah mencoba masakan khas Paotere, ikan bakar seafood dengan cobe-cobe. Cobe-cobe adalah sambal khas Makassar. Pedasnya, hmmm…
Ikan apa saja yang biasanya dibakar di warung-warung tenda tersebut? Ada ikan cepak, ikan kerapu dan ikan baronang yang biasanya menjadi menu andalan. Anda juga bisa memesan kepiting, udang ataupun cumi-cumi.
Selain ikan segar yang langsung diolah menjadi makanan khas Makassar, ada juga ikan yang telah diawetkan dan bisa Anda gunakan sebagai oleh-oleh dari Pelabuhan Paotere. Ikan yang telah diawetkan tersebut dapat berupa ikan teri, pindang kakap merah dan ikan asin lainnya yang anda bisa jumpai di warung-warung sepanjang Pelabuhan Paotere.
Dan satu lagi yang tak bisa dilewatkan oleh para pengunjung yang memiliki hobi memancing. Pada saat sore hari, di sekitar dermaga Pelabuhan Paotere akan ada anak-anak yang menawarkan jasa penyewaan kail dengan harga maksimal Rp. 4.000,- per jam. Anda sudah bisa duduk dengan tenang dan menunggu ikan buruan menghampiri kail anda.

Benteng Fort Rotterdam Makassar, Bukti Peninggalan Belanda


Benteng Rotterdam.Di Makassar ada satu benteng besar yang berdiri megah, namanya Fort Rotterdam. Jangan bayangkan lokasi benteng ini berada jauh diluar kota, dan kita harus menghabiskan waktu sekian jam untuk duduk dimobil berkecepatan tinggi, karena lokasi benteng ini terletak didalam kota Makassar sehingga cukup mudah untuk mencapainya.
Benteng dengan halaman seluas dua kali Museum Fatahilah Jakarta ini letaknya didepan pelabuhan laut kota Makasar atau ditengah pusat perdagangan sentral kota. Apabila kita menginap di area seputar pantai Losari, maka jaraknya dalam kisaran radius 2 km-an saja. Dari jalan raya, Fort Rotterdam yang juga akrab disebut benteng Ujungpandang (nama lain dari Makassar) akan mudah dikenali karena sangat mencolok dengan arsitektur era 1600 an yang berbeda dengan rumah dan kantor diseputarnya. Temboknya hitam berlumut kokoh menjulang hampir setinggi 5 meter, dan pintu masuknya masih asli seperti masa jayanya. Dari ketinggian, bentuk benteng seperti bentuk totem penyu yang bersiap hendak masuk kedalam pantai.
Memasuki pintu utamanya yg berukuran kecil, kita akan segera disergap oleh nuansa masa lalu. Tembok yang tebal sangat kokoh, pintu kayu, gerendel kuno, akan terlihat jelas. Masuk ke benteng sebetulnya tidak dipungut bayaran, karena area didalam benteng tidak dijadikan museum cagar budaya yg kosong melompong. Benteng Rotterdam dijadikan kantor pemerintah yakni Pusat Kebudayaan Makassar, sehingga suasana seram yang biasa kita jumpai dilokasi tua semacam ini tidak begitu kental karena masih dijumpai manusia berseliweran kian kemari. Karena area ini dipakai sebagai kantor, sehingga kebersihan dan kerapihan lingkungan disana masih terawat cukup baik.
Benteng ini awalnya dibangun tahun 1545 oleh raja Gowa ke X yakni Tunipallangga Ulaweng. Bahan baku awal benteng adalah tembok batu yang dicampur dengan tanah liat yang dibakar hingga kering. Bangunan didalamnya diisi oleh rumah panggung khas Gowa dimana raja dan keluarga menetap didalamnya. Ketika berpindah pada masa raja Gowa ke XIV, tembok benteng lantas diganti dengan batu padas yang berwarna hitam keras.

Kehadiran Belanda yang menguasai area seputar banda dan maluku, lantas menjadikan Belanda memutuskan untuk menaklukan Gowa agar armada dagang VOC dapat dengan mudah masuk dan merapat disini. Sejak tahun 1666 pecahlah perang pertama antara raja Gowa yang berkuasa didalam benteng tersebut dengan penguasa belanda Speelman. Setahun lebih benteng digempur oleh Belanda dibantu oleh pasukan sewaan dari Maluku, hingga akhirnya kekuasaan raja Gowa disana berakhir. Seisi benteng porak poranda, rumah raja didalamnya hancur dibakar oleh tentara musuh. Kekalahan ini membuat Belanda memaksa raja menandatangani “perjanjian Bongaya” pada 18 Nov 1667.
Dikemudian hari Speelman memutuskan utk menetap disana dengan membangun kembali dan menata bangunan disitu agar disesuaikan dengan kebutuhan dalam selera arsitektur Belanda. Bentuk awal yg mirip persegi panjang kotak dikelilingi oleh lima bastion, berubah mendapat tambahan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng diubah pula menjadi Fort Rotterdam, tempat kelahiran Gub Jend Belanda Cornelis Speelman.

 Salah satu obyek wisata yang terkenal disini selain melihat benteng, adalah menjenguk ruang tahanan sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda sejak tertangkap ditanah Jawa. Perang Diponegoro yg berkobar diantara tahun 1825-1830 berakhir dengan dijebaknya Pangeran Diponegoro oleh Belanda saat mengikuti perundingan damai. Diponegoro kemudian ditangkap dan dibuang ke Menado, lantas tahun 1834 ia dipindahkan ke Fort Rotterdam. Dia seorang diri ditempatkan didalam sebuah sel penjara yang berdinding melengkung dan amat kokoh. Diruang itu ia disedikana sebuah kamar kosong beserta pelengkap hidup lainnya seperti peralatan shalat, alquran, dan tempat tidur. Banyak kemudian yang meyakini bahwa Diponegoro wafat di Makassar, lalu ia dikuburkan disitu juga. Tapi ada pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Begitu ia wafat Belanda memindah ia ketempat rahasia agar tidak memicu letupan diantara pengikut fanatiknya di Jawa atau disitu.

Mesjid Raya Makassar, Cermin Kemegahan Islam


Masjid Raya Makassar awalnya dirancang M Soebardjo, kemudian diresmikan pada tanggal 25 Mei 1949. Kemudian pada tahun 1957 Presiden pertama RI, Soekarno melaksanakan sholat Jumat di masjid ini. Sedangkan pada tahun 1967, mantan Presiden Soeharto juga berkunjung dan sholat Jumat di masjid perjuangan ini. Karena itu, kehadiran masjid raya merupakan tonggak sejarah masa lalu.

Dana awal pembangunan masjid hanya Rp60.000 yang diprakarsai K H Ahmad Bone, seorang ulama asal Kabupaten Bone tahun 1947 dengan menunjuk ketua panitia KH Muchtar Lutfi, dua tahun kemudian diresmikan dengan menghabiskan biaya Rp1,2  juta.
Seorang jurnalis asing yang mengunjungi masjid tersebut menulis dalam sebuah artikelnya bahwa Masjid Raya Makassar adalah  masjid terbesar di Asia Tenggara di masa itu dengan daya tampung sekitar 60.000 orang hingga ke halaman.
Ketika Jusuf Kalla melontarkan ide perombakan besar-besaran masjid tersebut, muncul reaksi dengan tudingan sebagai kapitalis murni, dengan tuduhan akan mendirikan plaza di atas lokasi bekas bangunan masjid itu. Namun, seiring dengan perkembangan dan kemajuan pembangunan masjid sejak peletakan batu pertama oleh Gubernur HZB Palaguna 9 Oktober 1999, maka Jusuf Kalla sebagai pebisnis membuktikan tekadnya untuk memperbarui bangunan dan model masjid tersebut.
Di balik kontroversi pembangunan kembali masjid kebanggaan masyarakat Makassar itu, masjid itu menjelma menjadi rumah ibadah yang berdiri megah mirip dengan masjid di Timur Tengah dengan sentuhan arsitek meditarian.
Mesjid dua lantai di Jl. Bulusaraung ini menggunakan  bahan bangunan sekitar 80 persen dari bahan baku lokal, memiliki dua menara setinggi 66,66 meter, daya tampung 10.000 jamaah dan fasilitas berupa perpustakaan, kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel.
 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management